Pada saat liburan Natal dan Tahun Baru kemarin, ada satu kejadian yang membuat marah, kesal, kecewa dan perasaan tidak mengenakan lainnya. Dan mungkin juga satu cerita yang menggelitik bagi saya tentang pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah terhadap apa yang disebut “masyarakatnya”.
Pada suatu ketika (tepatnya saya lupa, tapi ketika liburan kemarin), saya merelakan diri pergi menemani saudara saya yang kebetulan sakit untuk memeriksakan dirinya ke sebuah UGD rumah sakit bersama ibu saya. Disebut merelakan, karena saya paling tidak suka pergi ke rumah sakit. Dan mengapa akhirnya memutuskan pergi ke UGD? Karena pada saat itu, kebetulan dokter-dokter sedang tidak praktek (itu hari Minggu) sehingga keadaan memaksa kita pergi ke UGD. Kita berpikir mungkin kalau kita masuk UGD pasti penanganan yan diberikannya cepat.
Kita berangkat dari rumah pada saat itu sekitar jam sebelas siang dan tidak menempuh waktu yang cukup lama. Setelah menempuh perjalanan 15 menit, akhirnya kita sampai juga di tempat parkir rumah sakit milik pemerintah di pinggiran kota Bandung . Ketika melihat gedung rumah sakit dari pelataran parkir, dalam hati saya berpikir “wah rumah sakitnya sudah renovasi, jadi megah pastinya juga mutu pelayanannya meningkat”. Saya berpikir seperti itu karena pada saat sebelum direnovasi suster-suster disini dikenal sangat matre, judes alias ga ramah dan tukang ngomel-ngomel. Pada intinya reputasi suster di sini jeblok, tidak memuaskan, membuat orang sakit makin tambah sakit karena prilaku suster-susternya yang membuat mereka kesal, sehingga menambah beban pikiran mereka. Kasian …
Akhirnya beberapa menit kemudian, saya, ibu dan saudara saya masuk ke ruangan UGD. Ketika masuk, ibu saya ditanya oleh suster, “permisi ibu, sapa yang sakit? Mari saya antar ke ruangan dan yang kebetulan sehat tolong urus terlebih dahulu datanya di bagian pendaftaran”. Dalam hati, langsung mikir “wah,ramah juga ini suster, sudah ramah kali ya suster-suster di sini”.
Tanpa pikir panjang, saya langsung mengurus data di bagian pendaftaran. Sampai di bagian pendaftaran (padahal pendaftaran UGD), petugasnya tidak ada di tempat. Ini bagaimana ceritanya, kalau petugasnya tidak ada berarti tidak bisa daftar. Sementara data pasien sangat dibutuhkan segera. Kegundahan mulai dirasakan, semenit dua menit nunggu tidak jadi masalah, tetapi kalau menunggu di bagian pendaftaran saja hampir 15 menit ya itu jadi masalah. Fiuh, 15 menit untuk menunggu petugas (lamanya). Selanjutnya saya disuruh mengisi formulir, lama juga. Ya, ngurus-ngurus pendaftaran sekitar 30 menitlah, abisnya komputernya di bagian pendaftaran juga sempet ngadat, tidak mau digunakan. Sempet iseng juga lihat komputer yang dipakainya, ya pantesan agak ngadat itu komputer soalnya komputernya juga terlihat komputer lama. Ckckckck.. Parah…
Sesudah itu, saya langsung masuk ke ruang UGD lagi. Saya sempet lirik jam, pas dilihat jam 11.45 siang. Terus data formulir langsung diberikan kepada seorang suster yang ada di bagian penerimaan. Kemudian saya masuk ke ruangan lain untuk menemui ibu saya. Saya berpikir mungkin jarang orang yang masuk ke UGD. Tak di sangka dan tak dinyana, orang sakit yang masuk UGD tersebut banyak sekali. Sebelum saudara saya masuk, mungkin ada sekitar 10 orang yang datang.
Setelah dicek berat badan, suhu tubuh dan tekanan darah, kita semua disuruh menunggu dokternya. Tet tolet tolet tolet …, ternyata menunggu itu membosankan. Saya tadi sudah bilangkan, menunggu semenit dua menit nunggu itu tidak masalah, ini sudah hampir 45 menit saya menunggu di UGD bersama pasien-pasien yang lain, tidak ada dokter yang datang juga. Kebetulan saudara saya cuman sakit panas, sehingga kita masih bisa bersabar. Tetapi diantara kita ada pasien yang sudah dalam kondisi lemas, muntah tapi dibiarkan saja tanpa ada penanganan berarti. Hanya dipakaikan infuse saja sebagai pertolongan pertama. Sungguh kasian...
Akhirnya kesabaran ibu saya meledak setelah satu jam menunggu, lalu ibu saya datang ke bagian penjagaan di ruangan depan dan menanyakan kapan akan diperiksa. Tanpa perasaan bersalah, suster menjawab “dokternya kebetulan sedang istirahat dulu bu”. Ternyata selama itu, dokter sedang beristirahat (hampir lebih dari setengah jam), di bank atau perkantoran istirahat selama itu tidak jadi masalah, tetapi apabila itu dilakukan oleh seorang dokter yang ada di bagian UGD itu menjadi suatu hal yang tidak wajar. Parah … Dan yang lebih anehnya lagi, dokter di bagian UGD itu hanya ada satu (kalau dokter jaga emang ada berapa? bingung…). Ya setidaknya kalau dokter jaganya cuman satu, ya istirahatnya tidak usah lama-lama. Aneh …
Setelah menunggu sejam lebih (karena harus memeriksa pasien sebelumnya), akhirnya saudara saya diperiksa juga oleh dokter tersebut. Setelah itu, dokter memberikan suatu resep. Ketika dokter sedang menuliskan resep, kita sebagai keluarga pasien ingin mengetahui penyakit saudara saya apa, DBD-kah, thypuskah atau apa pun lah yang menjadi penyakitnya! Kita menyangka dokter akan menjawab apa yang menjadi penyebab saudara saya sakit, tetapi yang ada setelah penantian selama sejam lebih itu dokter hanya menjawab “iya gitu” sambil memasang wajah mesem (jutek abis). Oh dok, iya gitu apa maksudnya?????? Dan lalau dokter mengakhiri pembicaraannya dengan“tolong tebus resepnya”. Kita sebagai keluarga pasien hanya bisa pasrah melihat prilaku seorang dokter seperti demikian. Dan apakah kita harus percaya dengan obat yang diberikan oleh dokter, kalau pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien hanya berjalan kurang dari 3 menit. Oh mungkin kita harus percaya kalo dokter memang ahlinya, tapikan??? Tau dech …
Ketika kita datang ke rumah sakit itu, pada awalnya saya berpikir reputasi suster-susternya sudah mulai mengalami peningkatan kea rah yang baik karena ketika kita datang disambut oleh suster yang ramah. Eh, ternyata penilaian saya salah, ternyata suster-susternya masih memiliki reputasi yang buruk (matre, judes alias ga ramah dan tukang ngomel-ngomel). Hal ini terbukti selama menunggu kehadiran dokter, saya menemukan semua prilaku suster yang kurang berkenan. Ada yang menerima uanglah (susternya jadi ramah sama yang ngasih duit), ada yang jutek sama pasien menggunakan kartu JAMKESMAS/GAKINDA dan ngomel-ngomel sama pasien muntah di ruangan itu (muntahannya ke lantai). Oh carut marut sekali pelayanan rumah sakit tersebut …
Dan sepulang dari rumah sakit tersebut, saudara saya tidak kunjung sembuh walau sudah minum obat yang diberikan oleh dokternya. Keadaannya malah semakin buruk (lemes, pucat, muntah). Lalu akhirnya, malam harinya kita memutuskan untuk pergi kembali ke UGD tapi bukan UGD rumah sakit yang tadi siang. Kita membawanya ke salah satu rumah sakit swasta di kota kami. Beda sekali pelayanan di sini, penanganannya cepat dan tidak ada istilah kita suruh menunggu lebih dari 15 menit. Dokter jaganya saja ada tiga yang memeriksanya, suster-susternya enak dilihat, maksudnya enak dilihat karena ramah, murah senyum, mendengar keluhan kita. Dan satu hal lagi yang membuat kita percaya pada rumah sakit swasta adalah peralatan-peralatan rumah sakitnya yang serba canggih. Dan yang paling kerennya lagi, penyakitnya langsung bisa diprediksi oleh dokter yaitu penyakit USUS BUNTU. Setelah kita melakukan cek laboratorium ternyata bisa terlihat hasilnya bahwa saudara saya menderita penyakit usus buntu yang sudah kronis dan harus segera dioperasi karena ususnya sudah hampir pecah. Oh, beda sekali dengan mutu pelayanan di rumah sakit pemerintah (terharu). Di sana kita tidak disuruh untuk cek laboratorium ataupun cek-cek lainnya.
Begitulah sekelumit cerita saya mengenai pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah dan swasta. Terlihat jelas, perbedaan yang cukup menonjol atas pelayanan yang diberikan baik itu oleh pemerintah maupun swasta. Bukan bermaksud untuk menjatuhkan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Tapi itu memang sebuah kenyataan yang tidak bisa kita hindari dan memang benar adanya.
Apalah gunanya, pemerintah berusaha merenovasi gedung-gedung rumah sakit miliknya agar terlihat mewah dan terlihat seolah-olah sebagai sebuah rumah sakit yang memiliki pelayanan publik yang baik bagi masyarakatnya, jikalau mutu pelayanan publik yang diberikan oleh rumah sakit itu bertolak belakang dengan gedung rumah sakitnya yang mewah itu. Pemerintah harus bisa meningkatkan terlebih dahulu mutu pelayanan publiknya. Contohnya :
1. Berikanlah teknologi canggih (seperti komputer versi terbaru) di bagian pendaftaran pasien agar bisa mempermudah dan mempersingkat waktu bagi seseorang yang ingin mendaftarkan diri menjadi salah satu pasiennya. Begitupun dengan peralatan-peralatan pemeriksaannya, agar bisa mendapatkan hasil yang akurat.
2. Berikanlah pengarahan kepada dokter dan suster/perawatnya agar memiliki sikap untuk menolong sesama, menolong orang yang membutuhkan pertolongan dengan sebaik mungkin. Keramah tamahan itu merupakan bantuan psikologis bagi seseorang yang sedang sakit, itu akan membuat dirinya merasa tenang.
3. Sebaiknya, di sebuah UGD harus disediakan lebih dari seorang dokter. Hal ini untuk mencegah jika sewaktu-waktu orang-orang yang sakit dan membutuhkan bantuan cepat, datang pada waktu yang bersamaan.
4. Dan hendaknya seorang dokter jaga suatu rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan terbaiknya dari ilmu yang dimilikinya. Agar jangan sampai seorang dokter salah menganalisis suatu penyakit yang dialami pasiennya.